suaranewspapua.com.- JAKARTA.- Duta Besar (Dubes) Republik Indonesia untuk Selandia Baru, Samoa, dan Kerajaan Tonga, Tantowi Yahya, menceritakan bahwa salah satu tantangan bertugas di kawasan Pasifik adalah meredam pendukung separatisme Papua.
“Pasifik adalah panggung utama pergerakan kelompok separatis Papua. Dari sini acara yang kecil-kecil, kemudian diamplifikasi ke seluruh dunia, ditambahi ‘bumbu-bumbu’ sehingga jadi berita. Selandia Baru bersama Australia adalah panggung utamanya,” ungkap Tantowi dalam webinar yang diselenggarakan oleh Opini.id pada Sabtu (20/6).
Dilansir dari idntimes.com, Menurut Tantowi, orang-orang di Pasifik merasa memiliki identitas yang sama dengan masyarakat Papua. Di samping itu, jika digali sejarahnya 5 ribu tahun silam, ras Melanesia di Pasifik merupakan orang-orang Papua yang dulunya berlayar dari Indonesia.
“Kenapa Pasifik panggung utamanya? Karena di sini bermukim masyarakat yang berasal dari tiga ras besar, Melanesia, Polinesia, dan Mikronesia. Membangun pergerakan atas nama sentimen ras, warna kulit, agama, jauh lebih mudah dibandingkan membangun pergerakan tanpa kesamaan ras, agama,” tambah politikus Partai Golkar itu.
Terhitung sejak Januari 2020 lalu, Tantowi mendapat tugas tambahan dari Kementerian Luar Negeri sebagai Dubes keliling di Pasifik. Praktis dia harus berkutat dengan isu separatisme Papua yang juga mencuat di Republik Vanuatu, Republik Fiji, dan Kepulauan Solomon. Secara spesifik, dia menyebut tiga negara itu sebagai pendukung “garis keras” separatisme Papua.
“Mau tidak mau seluruh negara di Pasifik menjadi perhatian dan tanggung jawab saya,” kata dia.
Lantas, bagaimana kisah Tantowi berdiplomasi guna meredam isu separatisme Papua di Pasifik?
1. Diplomasi budaya dengan musik country
Pengalaman Tantowi berkiprah di bidang seni, sebelum terjun ke dunia politik, ternyata menjadi modal berharga. Tantowi menyebut esensi dari diplomasi adalah winning their hearts and minds. Untuk itu, dia menggunakan kemampuan bermusiknya agar bisa duduk bersama dengan banyak orang Pasifik kemudian menceritakan segala perkembangan di Papua.
“Saya menyebutnya diplomasi ala Pasifik atau Pacific way. Kita tidak bisa memaksa mereka dengan data-data yang membuat terpojok. Walaupun mereka terlihat setuju, tapi sebenarnya mereka silence in disagreement,” paparnya.
“Kebenarannya saya orang budaya dan musik saya adalah musik country yang digemari orang-orang di sini. Jadi ketika saya menggunakan musik untuk instrumen diplomasi, akselerasinya lebih cepat ketimbang diplomasi konvensional,” imbuhnya.
2. Mendatangkan orang Papua langsung untuk berbagi cerita
Kakak kandung dari Helmy Yahya itu juga sering mengajak orang Papua asli untuk berdiskusi dengan orang-orang Pasifik. Tujuannya supaya mereka bisa mendengar langsung betapa Papua menjadi perhatian Indonesia melalui percepatan pembangunannya.
“Kalau yang mengatakan adalah orang-orang Papua asli sangat manjur. Kalau kalian (orang Papua) yang ngomong, mereka gak bisa apa-apa. Tapi kalau saya yang ngomong, mereka akan bilang kamu siapa? What you say?” kata dia.
Salah satu pengalamannya, dua tahun lalu Tantowi sempat mengajak tiga orang Papua untuk berdiskusi di kampus di Selandia Baru. Tantowi mengetahui bahwa mimbar akademis di kampus tersebut sering dimanfaatkan untuk menggelar diskusi yang memojokkan Indonesia.
Dia kemudian berinisiatif mengadakan diskusi soal Papua namun pembicaranya didatangkan langsung dari Bumi Cendrawasih. Tantowi juga mengundang aktivis-aktivis yang kerap menyuarakan dengan lantang kemerdekaan Papua.
“Kebebasan kampus itu gak bisa dilarang, jadi kita bikin forum serupa. Saya datangkan tiga orang Papua asli. Seperti dugaan saya, mereka (yang mendukung Papua merdeka) tidak datang. Sekalipun datang mereka duduk di belakang sekali dan tidak lama mereka akan pergi,” ungkapnya.
“Artinya, mereka ini memang orang-orang yang menikmati kebohongan yang kemudian dikapitalisasi menjadi kebenaran versi mereka. Ketika kami konfrontasi, mereka tidak meng-entertaint undangan kami,” sambung dia.
3. Menangkal hoaks dan berita bohong
Peran Tantowi yang tidak kalah penting adalah menangkal berita bohong atau hoaks yang dimanfaatkan untuk memojokkan Indonesia. Dia mengungkap, tidak jarang tindakan kekerasan yang terjadi di Afrika dinarasikan sebagai kekerasan yang terjadi di Papua, hanya karena mereka sama-sama kulit hitam.
Lebih ironis lagi, lanjut Tantowi, para pemangku kebijakan di negara-negara Pasifik juga banyak yang termakan dengan berita bohong. Sehingga, isu Papua ini kerap dimanfaatkan untuk mendulang popularitas. Salah satunya adalah Westminster Declaration yang dikeluarkan oleh sejumlah anggota Parlemen Selandia Baru untuk mendukung kemerdekaan Papua.
“Ada kelompok 11 orang Parlemen pada 2017 yang menandatangani Westminster Declaration. Singkat cerita, 7 dari 11 orang itu terpilih kembali (anggota parlemen). Saya minta waktu bertemu, satu tahun akhirnya baru ditemui. Sederhana, saya ingin berbicara mengenai Papua dan saya ingin melihat bagaimana respons Anda,” papar dia.
“Akhirnya pertemuan terjadi, saya bawa satu orang Papua. Kami cerita apa adanya. Akhirnya tujuh orang ini bilang ‘wow, kenapa gak dari dulu dipertemukan dengan orang asli seperti ini. Ternyata yang kami dengar selama ini adalah berita yang salah’. Sudah itu, akhirnya case closed,” tambah Tantowi.
Apa yang ingin disampaikan Tantowi adalah kelompok pendukung Papua merdeka sangat masif dalam memainkan narasi kebohongan di media sosial. Sayangnya, harus dia akui, Indonesia terlambat merespons narasi-narasi tersebut, sehingga banyak orang yang percaya bahwa informasi yang beredar adalah benar adanya.
“Opini yang salah, jika kita tidak klarifikasi, maka dia akan dipersepsikan sebagai suatu kebenaran. Kita agak terlambat dalam klarifikasi berita-berita fitnah. Mereka (narasi kebohongan) terorkestrasi dengan baik. Serangan mereka jelas. Nah kita dalam hal ini belum terorkestrasi dengan baik,” ujar dia.
4. Dukungan kemerdekaan Papua tidak akan hilang di Pasifik
Tantowi mengatakan bahwa dukungan terhadap Papua tidak setiap hari mencuat, terkhusus di Selandia Baru. Harus ada momentum atau kejadian tertentu sehingga masyarakat mendemo KBRI Wellington untuk mendukung kemerdekaan Papua.
“Terakhir unjuk rasa di KBRI Wellington pagi dan sore pada 17 Juni, saat keputusan PN Balikpapan. Jadi pergerakan ini dilakukan oleh aktor-aktor dan pemain-pemain pada momentum tertentu. Saya katakan isu ini tidak akan hilang karena isunya dari partai politik tertentu, kelompok ormas, dan individu dalam rangka mendapat simpati dari akar rumput,” tutur dia.
Di samping itu, Tantowi juga berharap pemerintah dan masyarakat Indonesia bersama-sama bisa menyudahi isu separatisme di Papua. Dengan demikian, tidak ada lagi negara-negara yang mempolitisasi isu kemerdekaan Papua.
“Mohon dimengerti, apa yang kami lakukan adalah memadamkan api yang terjadi di Indonesia. Jadi saya bisa sebut, lebih dari 50 persen permasalahan di Papua yang diinternasionalisasi adalah permasalahan yang ada di tempat kita sendiri,” katanya.
“Untuk menyelesaikan permasalahan Papua harus diperlukan total football, semua itu harus bermain, karena ini bukan masalah satu kementerian atau satu orang, ini masalah kita bersama,” sambungnya.