Uncategorized

“Simbol Salah Tafsir: Ketika Bola Nafri Diubah Jadi Bintang Politik”

Ditulis oleh: Anak Tanah

Jayapura, 3 Mei 2025 – Di tengah gunung dan teluk Nafri yang membentang di pesisir utara Jayapura, sebuah simbol kecil terus bertahan: bendera dengan gambar bola yang dulu menjadi lambang sepak bola kampung.

Bukan sekadar logo olahraga, bagi masyarakat Nafri, simbol ini adalah identitas, memori, dan warisan.

Lambang ini mereka pertahankan, bahkan ketika gelombang sejarah datang menghapus dan mengganti banyak hal—termasuk ketika Belanda meninggalkan Papua dengan tergesa.

Bapak Fredi Numberi, tokoh senior Papua dan mantan Menteri di kabinet presiden SBY, pernah berkata dalam kanal YouTube-nya, bahwa apa yang terjadi di Papua bukan sekadar soal politik lokal, tapi soal warisan kolonial yang belum tuntas dijelaskan.

“Belanda tidak pernah merdekakan Papua,” tegasnya. “Mereka hanya tinggalkan simbol. Salah satunya: Bintang Kejora.”

Menurut Fredi, saat hendak angkat kaki dari Tanah Papua, Belanda buru-buru merancang simbol budaya sebagai oleh-oleh: bendera Bintang Kejora. Gambar bola yang dulu digunakan masyarakat lokal diganti dengan bintang kemudian disebut dengan nama: “Bintang Kejora.” Sebuah langkah yang tampak simbolik, namun kemudian menjadi pemantik konflik berkepanjangan.

“Sementara kita di sini baku tembak, Belanda duduk manis menonton dari jauh,” sindir Fredi dalam salah satu video reflektifnya.

Bintang Kejora, yang pada 1 Desember 1961 dikibarkan dalam seremoni, awalnya bukanlah bendera negara, melainkan “land vlag” atau bendera tanah—sebuah pengakuan budaya dari Belanda kepada masyarakat Papua. Namun simbol ini, karena sejarahnya yang rumit, akhirnya dikaitkan dengan tuntutan kemerdekaan.

“Setiap orang Papua yang melarikan diri ke Belanda akibat konflik politik di Papua justru ditolak,” ujar seorang tokoh pemuda di Jayapura.

“justru yang menampung orang Papua ketika melarikan diri ke luar negeri akibat konflik Papua yaitu Inggris, Vanuatu, dan Australia. Sementara Belanda duduk manis dan menonton konflik yang terjadi di Papua.

Fredi Numberi kembali menekankan, dalam hukum internasional, negara tidak bisa memerdekakan negara lain.

“Belanda adalah negara. Seharusnya PBB-lah yang merestui berdirinya negara baru, bukan Belanda,” katanya.

Dan kenyataannya, Perserikatan Bangsa-Bangsa lewat Resolusi 2504, justru mengakui kedaulatan Indonesia atas Papua pada tahun 1969, melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).

Kini, puluhan tahun kemudian, masyarakat Papua masih hidup dalam silang pendapat: antara melihat Bintang Kejora sebagai warisan budaya atau sebagai simbol politik. Namun bagi kampung seperti Nafri, yang masih memegang lambang sepak bola lama mereka, sejarah tidak melulu tentang simbol. Sejarah adalah soal siapa yang bercerita, dan siapa yang masih bertahan menjaga ingatan.

“Dan kami tetap di sini,” tulis seorang pemuda Nafri dalam unggahan Facebook-nya, “bukan untuk angkat senjata, tapi untuk mengingat siapa kami sebenarnya Yaitu tentang sepakbola bola Nafri”

Seorang pemuda Nafri lainnya menyuarakan harapannya, “Kembalikan hak kami, yaitu bendera sepak bola Nafri. Jangan salah artikan sebagai bendera politik. Hapus bintang dan kembalikan bola sebagai bendera sepak bola Nafri.”

Herma Yoku, mantan anggota kelompok bersenjata (KKB) Papua, turut mengakui kebenaran sejarah tersebut. “Itu bendera sepak bola Nafri, bukan bendera politik. Belanda mencopot bola dan menggantinya dengan bintang. Kami sudah dibohongi—ditipu oleh politik Belanda. Sekarang mereka duduk manis dan menonton konflik di Papua tanpa bersuara.”

Related Articles

Back to top button