Oleh: Sabby Kosay
suaranewspapua.com. Papua adalah wilayah yang cukup rawan, karena sering digoda oleh kaum separatis. Mereka memakai isu SARA dan HAM untuk menarik perhatian publik. Padahal permasalahan hak asasi manusia di Bumi Cendrawasih dan penegakan hukum sudah makin baik, dan tidak ada warga sipil yang dirugikan.
Kedamaian di Papua dikacaukan oleh isu rusaknya hak asasi manusia di sana. Ternyata kabar palsu itu sengaja diembuskan oleh OPM dan anteknya, agar masyarakat di luar Bumi Cendrawasih menaruh simpati pada mereka. Padahal tidak ada yang namanya pelanggaran HAM di sana, karena aparat dan penegak hukum menjalankan tugasnya dengan baik.
Dr. Filep Wamafma, Ketua Pansus Papua DPD RI menyatakan bahwa jika pelanggaran HAM di Bumi Cendrawasih, baik di masa kini maupun di masa lalu, wajib diselesaikan. Caranya dengan bekerja sama dengan Komnas HAM, agar tidak ada pihak yang dirugikan. Ia juga meminta agar Komnas HAM Papua didirikan. Agar nanti jika ada yang merasa hak asasinya diambil, bisa mengadu dengan cepat.
Selama ini problem pelanggaran HAM yang mencuat ke publik masih abu-abu, karena ada 2 pihak yang ngotot memperebutkan mana yang benar dan mana yang salah. Misalnya ketika ada berita pelanggaran HAM karena ada warga sipil yang tertembak dan kehilangan nyawa. Publik diminta untuk jangan emosi dulu, tapi telusuri kebenarannya.
Setelah diselidiki, ternyata mereka ditembak oleh kelompok kriminal bersenjata dan tega menjadikan warga sipil sebagai ‘tameng hidup’. Namun yang terjadi adalah mereka menyebar provokasi bahwa masyarakat yang ditembak adalah korban dari aparat. Jadi kita tidak boleh gegabah dalam membaca berita, karena bisa jadi itu hanya hoax dan propaganda dari OPM.
OPM juga menuduh aparat menahan anggota mereka dengan sewenang-wenang sehingga melanggar hak asasi. Padahal ketika tertangkap, mereka diperlakukan dengan layak dan dimintai keterangan baik-baik. Di dalam bui mereka juga melakukan kegiatan bersama dengan tahanan lain, dan tidak disiksa tiap hari. Masyarakat harus waspada akan provokasi OPM yang ini, karena mereka selalu menyerang pemerintah Indonesia.
Selain itu, pelanggaran hak asasi manusia yang dipermasalahkan adalah isi tentang pelarangan hak berserikat dan berkumpul. Padahal sebelum masa pandemi, hal ini tidak pernah dilarang. Hanya saja ketika masyarakat berkumpul dan mengeluarkan botol berisi minuman keras, tentu akan langsung ditegur oleh aparat, karena melanggar hukum.
Begitu juga dengan pernyataan sebagian oknum yang merasa hak asasi manusia-nya dicederai ketika dilarang untuk berkumpul saat berdemo. Menyatakan aspirasi boleh saja, namun sekarang masih masa pandemi, sehingga dilarang keras. Lagipula, sebelum berunjuk rasa harus izin dulu ke kepolisian, agar tidak dibubarkan kegiatannya karena dianggap ilegal.
Ada juga tuduhan pembatasan akses informasi yang melanggar hak asasi manusia di Papua. Memang ketika ada kerusuhan, serangan dari KKB, atau demo yang berpotensi rusuh, pihak operator telepon seluler bekerja sama dengan kepolisian. Tujuannya agar sinyal dimatikan untuk sementara, agar mereka gagal untuk berkomunikasi dan berkoordinasi. Hal ini juga legal dan beberapa kali dilakukan di daerah lain.
Kita perlu melihat hak asasi manusia sebagai sesuatu yang djunjung tinggi, namun juga jangan terlalu memujanya. Penyebabnya karena ketika ada yang mengklaim hak asasinya dilanggar, padahal ia yang bersalah karena tak menaati peraturan. Jangan sampai alasan hak asasi menjadi kamuflase dari sifat yang seenaknya sendiri.
Ketika ada berita pelanggaran HAM di Papua, masyarakat jangan emosi dulu. Namun selidiki kebenarannya dan lihat dari 2 sisi. Aparat tak mungkin menembak warga sipil sembarangan. Justru OPM dan KKB yang selalu playing victim dan memanfaatkan keadaan, agar mereka merasa dibela oleh masyarakat.
(Penulis mahasiswa Papua tinggal di Yogyakarta)