Ketika Musuh Tak Lagi Jelas, Harapan Dibalas Peluru

Oleh: Penjaga Dusun Adat Bumi cenderawasih
Pagi itu, mentari masih malu-malu menyapa pegunungan Yahukimo. Embun belum sempat luruh dari dedaunan ketika suara jerit kesakitan memecah keheningan. Rosalina Rerek Sogen, sang ibu dari jauh, seharusnya sedang menyusun mimpi di papan tulis kelas kecilnya. Namun, takdir rupanya punya cerita lain — cerita yang ditulis dengan darah dan air mata.
Ia terbaring kaku, dikelilingi isak yang tak berkesudahan.
Bukan kali pertama bumi Papua menangis seperti ini.
Entah mengapa, seolah bukan pula yang terakhir.
Di tanah yang kaya akan surga hijau, kekerasan kembali berulang. Sepuluh korban menjadi saksi bisu betapa nyawa kini tak lebih dari angka di atas kertas. Rosalina, seorang guru yang datang membawa harapan, pulang dalam senyap. Tiga terluka berat, empat lainnya terluka ringan, sementara dua sisanya selamat dengan jiwa yang tercabik-cabik.
Tuduhan yang Lahap Akal Sehat
“Intelijen,” begitu mereka menyebutnya.
“Kaki tangan militer,” begitu mereka menuduhnya.
Ah, betapa murahnya kata-kata. Tuduhan itu lahir dari kebencian yang buta, tanpa dasar, tanpa bukti. KKB menyebut para guru dan tenaga medis sebagai musuh yang menyamar — sebuah kebohongan yang diulang-ulang hingga seolah menjadi kebenaran.
Padahal, mereka bukan siapa-siapa kecuali penjaga mimpi anak-anak Papua.
Mereka datang tanpa seragam loreng, hanya dengan seragam putih harapan.
Mereka datang tanpa senjata, hanya dengan pena dan stetoskop di tangan.
Tidak ada peran militer di sini.
Tidak ada rahasia negara yang mereka bawa.
Hanya tekad yang tulus untuk mencerdaskan dan menyehatkan anak-anak di tanah surga.
Namun, dalam kebohongan yang diciptakan oleh ketakutan, kebrutalan menemukan jalannya.
Musuh yang Tak Kunjung Berwajah
Apa itu musuh?
Siapa itu musuh?
Di mana musuh berada?
Mengapa mereka disebut musuh?
Semakin dalam pertanyaan ini digali, semakin kabur jawabannya.
Apakah seorang guru yang mengajarkan huruf dan angka adalah musuh?
Apakah seorang perawat yang membalut luka adalah ancaman?
Jika demikian, barangkali musuh bukan lagi tentang siapa.
Barangkali musuh adalah rasa benci yang lahir dari luka lama.
Barangkali musuh adalah ketidakpahaman yang enggan mencari tahu.
Tetapi mengapa nyawa harus menjadi bayarannya?
Mengapa ibu dari jauh harus pulang dalam peti mati?
Mengapa anak-anak harus kehilangan senyum gurunya?
Berapa Banyak Lagi Nyawa yang Harus Pergi?
Bupati Yahukimo, Didimus Yahuli, dengan suara yang bergetar, menolak tuduhan itu. Ia bersumpah atas nama kemanusiaan — mereka bukan mata-mata. Mereka adalah warga sipil yang telah mengabdi sejak 2021. Bahkan, ia rela melepaskan jabatannya jika terbukti sebaliknya.
Namun, adakah suara yang cukup lantang untuk menghentikan peluru?
Adakah air mata yang cukup deras untuk memadamkan kebencian?
Berapa banyak lagi guru yang harus pulang dalam diam?
Berapa banyak lagi peti mati yang harus dikirim ke kampung halaman?
Berapa lama lagi kita harus bertanya, “Sampai kapan?”
Ini Bukan Sekadar Berita
Ini bukan sekadar kabar pagi yang akan segera terlupakan.
Ini bukan sekadar angka yang dirangkum dalam laporan.
Ini adalah duka yang menempel di tanah.
Ini adalah luka yang terus menganga di hati.
Duka bagi keluarga yang kehilangan pelukan terakhir.
Duka bagi anak-anak yang kehilangan suara hangat di kelas.
Duka bagi masyarakat yang terus hidup dalam bayang-bayang ketakutan.
Selamat jalan, Ibu Rosalina Rerek Sogen.
Terima kasih telah menabur cahaya di ujung timur Indonesia.
Pengabdianmu akan terus hidup dalam tawa anak-anak Papua yang kau cintai.
Semoga ini menjadi yang terakhir.
Semoga tidak ada lagi darah yang menodai Bumi Cenderawasih.
Semoga tidak ada lagi air mata yang tumpah karena kebencian tanpa wajah.