suaranewspapua.com- JAYAPURA- Papua memerlukan paradigma baru berbasis etnografi, di mana proses pembangunan perlu memberi ruang terjadinya pertukaran nilai secara baik dan tidak memaksakan sebuah perubahan. Yang utama adalah membangun nasionalisme Papua berbasis kesadaran dan kecintaan kepada Indonesia dengan memahami pergulatan hidup orang Papua.
“Dengan demikian, nasionalisme ganda Papua mungkin tidak akan menjadi isu lagi,” ujar penulis buku “Papua Road Map” Adriana Elisabeth dalam webinar bertema “Adakah Nasionalisme Ganda Orang Papua?” yang digelar Keluarga Alumni Universitas Cendrawasih (KAMI-UNCEN), Rabu (9/9/2020).
Seminar yang digelar secara daring itu juga menghadirkan dosen Uncen yang juga peneliti sejarah, Bernarda Meteray dan tokoh masyarakat Papua, Michael Menufandu.
Menurut Adriana, nasionalisme adalah sebuah living process, dinamis, dan ditentukan oleh konteks serta kepentingan yang saling berkorelasi. Disebutkan, nasionalisme Eropa banyak memengaruhi kesadaran kebangsaan di banyak negara, terutama sejak Masa Pencerahan pada abad ke-17 hingga ke-18.
Konsep nasionalisme tidak sederhana karena terdapat beberapa elemen pokok yang perlu dipahami, yaitu sistem kepercayaan, bangsa atau rakyat, kemerdekaan dan berdaulat atau kedaulatan. Dalam perjalanannya, nasionalisme tidak selalu mulus, namun kerap menghadapi ketidakstabilan, misalnya karena ancaman intoleransi, terutama di dalam konteks keberagaman suku, etnis dan agama, kemudian juga karena adanya konflik sosial atau gerakan pemisahan diri (seccesion) dan penentuan nasib sendiri (self-determination).
“Dalam konteks Papua, nasionalisme Indonesia seolah-olah berhadapan dengan etnonasionalisme Papua. Hal ini terjadi karena Indonesia masih menghadapi tantangan karena adanya gerakan separatis Papua,” kata Adriana.
Sementara, bagi Papua, ujarnya, akar nasionalisme tumbuh karena pengalaman sejarah konflik, kekerasan, marjinalisasi ekonomi, dan diskriminasi rasial. Menguatnya nasionalisme Papua juga dipengaruhi dinamika global, di mana isu Papua semakin dikenal publik bukan hanya di dalam negeri, namun juga di luar negeri. Hal ini menjadikan konflik Papua sebagai salah satu jenis intra-strate conflict yang ada di dunia.
“Untuk mengatasi persoalan Papua, baik secara khusus mengenai nasioanalisme atau akar masalah yang telah ditulis di dalam buku ‘Papua Road Map’, 2009 (marjinalisasi dan diskriminasi, masalah pembangunan, kekerasan dan pelanggaran HAM, dan pro-kontra sejarah Papua), maka tidak ada acara yang instan dapat dilakukan, melainkan memerlukan proses perubahan sosial yang panjang,” ujar Adriana.
Oleh karena itu, ujarnya, salah satu pendekatan damai yang dapat dilakukan adalah membangun negative peace, di mana tidak ada lagi konflik kekerasan. Bahkan, perbaikan komunikasi harus dilakukan dengan cara menghilangkan stigma terhadap orang Papua maupun terhadap Pemerintah Indonesia.