
Suaranewspapua.com- JAYAPURA-PAPUA- Kebijakan dan rumitnya permasalahan otonomi khusus sebenarnya tidak terlalu besar pengaruhnya jika pada awal pelaksanaannya sudah dikerjakan dengan hati yang penuh tanggung jawab. Ditambah lagi berbagai provokasi dan kecaman hanya digulirkan oleh segelintir oknum yang tidak menginginkan Papua menjadi daerah yang lebih maju. Kita semua paham selama kebijakan otsus berlangsung hampir dua puluh tahun terakhir masyarakat tetap bisa beraktivitas dengan baik dan menjalankan roda kehidupannya dengan tenteram.
Kita juga tahu bahwa kelompok seperti ULMWP, KNPB, atau gerakan yang mengatasnamakan mahasiswa adalah biang kerusuhan di Papua. Apa yang dilakukan oleh kelompok pengacau tersebut dimaksudkan untuk menjadikan Papua sebagai wilayah yang terus menerus dirundung pertikaian, sebab dengan terjadinya pertikaian maka suntikan dana segar dari pemerintah daerah akan mereka terima secara cuma-cuma sebagai seremonial yang bernilai percuma. Hal inilah yang juga menjadi sorotan bahwa di Papua masih rawan terjadi penyelewengan dana.
Walaupun akhir-akhir ini terdapat suara masyarakat dan tokoh elit menyuarakan agar penyelenggaraan Otonomi Khusus (Otsus) di Tanah Papua harus dievaluasi karena dianggap tidak maksimal.
Hal ini menganalogikan bahwa pemerintah pusat merasa tenang dengan kondisi di Papua karena telah mengucurkan dana untuk melakukan pembangunan sumber daya di Papua. Sedangkan kelompok masyarakat seakan masih bertanya-tanya tentang apa yang mereka peroleh dari datangnya kebijakan otsus itu sendiri. Jika disimpulkan bahwa fakta yang terjadi saat ini adalah ada komunikasi yang terputus antara pemerintah dengan masyarakat.
Berbagai permasalah yang terus menerus merundung di Papua pun akhirnya menarik banyak pihak sebagai pengamat untuk berbicara, bahwa akar permasalahan di Papua terjadi karena peyelesaiannya tidak menyentuh lapisan masyarakat dikelas ter-rendah. Berbagai kebijakan yang sudah tepat hanya mengendap dan membusuk di pemerintah daerah.
Memang rasanya tidak salah juga sebab data membuktikan bahwa Papua adalah salah satu daerah dengan tingkat korupsi tertinggi di Indonesia. Apa yang menjadi akar permaslahana tersebut juga seakan berbanding lurus dengan pernyataan Bupati Jayapura Mathius Awoitauw.
Bahwa Penyelenggaraan Otsus sudah tepat sebab targetnya menyasar masyarakat sebagai objek pembangunan, hanya saja pengelolaannya yang kurang baik.
“Kita semua berharap bahwa Papua ini bisa menjadi daerah yang lebih baik, salah satunya dari kebijakan otsus. Tapi yang ada saat ini kita malah saling tuding,”
Permasalahan itu terjadi ketika kusutnya birokrasi yang diemban oleh orang-orang yang tamak dan tidak bekerja dengan hati. Dibalik omong kosong oknum pejabat di Papua mereka harus menyisakan titik bahwa rakyatnya sendiri masih terus berteriak-teriak menagih janji yang selalu diumbar.
“Pusat bilang kita sudah berikan dana kepada seluruh orang Papua, kenapa Otsus tidak dijalankan dengan baik. Dari Papua juga bicara Pemerintah Daerah tidak diberikan banyak kewenangan untuk mengelola Otsus. Kita selalu berdebat disitu tapi tidak pernah memulai sesuatu yang baru untuk dikerjakan baik pemerintah pusat maupun dari Papua sendiri”
Perlu dilakukan diskusi antara Pemerintah Pusat dengan Papua dan Papua Barat adalah agar tidak saling menyalahkan. Hal ini dimaksudkan untuk mendapat titik temu agar berbagai permaslahan di Papua dapat terselesaikan. Ketidak sinkronan kebijakan antara Pusat dan Daerah adalah salah satu faktor yang menghambat keberlangsungan otsus di Papua.
“Bagaimana tidak, perjuangan bersama masyarakat adat yang merupakan roh dari UU Otsus, tapi seakan percuma karena berbenturan dengan kebijakan provinsi yang seakan tidak mendukung,”
Diluar dari itu, berbagai harapan masyarakat tentang status kehidupan yang layak masih menjadi angan-angan. Jika ditelaah maka seharusnya masyarakatlah yang paling berhak mendapatkan sokongan dari pemerintah, baik dari kebijakan, fasilitas penunjang, ataupun dana/anggaran. Namun keberlangsungan selama ini menjadi satu pekerjaan rumah tersendiri, para oknum pejabat adalah ‘benalu’ yang harus diberangus karena keberadaannya yang tidak amanah dan cenderung memperkaya diri sendiri.
Kedepan, mari kita gunakan akal sehat manusia yang diberikan keistimewaan untuk berpikir oleh Tuhan bukan untuk saling tuding, tapi mencari solusi demi kesejahteraan yang lebih baik lagi.
Sumber: Edward G. M (pengamat Papua)
Jayapura, Papua. 25 Juli 2020.