Mengenal Sejarah Papua dari Tidore dan Kerukunan Umat Muslim dan Kristen di Papua
Dikutip Dari Laman maritimnews.com., Kesultanan Tidore yang merupakan salah satu kesultanan tua di Maluku Utara, memiliki sejarah panjang dalam proses penyatuan Indonesia. Kesultanan ini erat kaitannya dengan pulau paling timur Indonesia, yakni Papua.
Sultan Tidore Husain Syah salah tokoh pelaku sejarah kesultanan tidore menceritakan secara jelas sejarah Papua yang menurutnya istilah itu berasal dari Bahasa Tidore.
“Orang sering tertukar mengartikan Papua dari Bahasa Tidore yang artinya Papa ua. Arti dari istilah itu adalah tidak memiliki ayah atau orang tua. Padahal yang benar ialah Papo ua, yang berarti tempat yang jauh,” ujar Sultan Tidore.
Karena bila pulau ini dianggap sebagai Papa ua, yang artinya tak memiliki bapak maka akhirnya identik dengan tanah tak bertuan. Artinya, siapa pun bisa memiliki Papua. Sultan Tidore dengan tegas menepis anggapan itu.
Sambungnya, Pulau Papua merupakan pulau yang jauh bagi orang-orang Tidore dahulu saat berlayar. Meskipun tercatat armada Tidore pernah tiba di Kepulauan Pasifik, namun tetap saja, bagi orang-orang Tidore tanah Papua menjadi daerah yang jauh di seberang lautan.
Ia pun menepis jika ada yang menyatakan nama asli pulau itu ialah Irian sesuai pemberian Bung Karno yang diakronimkan Ikut Repuplik Indonesia Anti Netherland. Menurut informasi yang telah dihimpun sebelumnya, konon nama Irian itu berasal dari istilah Arab, Ar-Rayan, yang berarti Tanah Surga.
Mengingat pulau ini kaya akan sumber daya alamnya ditambah dengan panorama alamnya yang indah ibarat penggalan surga yang jatuh ke bumi. Di pulau itu pun terdapat burung surga, yakni cinderawasih.
“Itu hanya persepsi saja kalau ada yang menyebut Irian berasal dari kata Ar-Rayan. Karena menurut cerita orang-orang tua kami, pulau itu karena dianggap jauh makannya disebut Papo ua. Saya tidah tahu kenapa dialeknya akhirnya menjadi Papua,” terangnya.
Kesultanan Tidore yang berjaya pada masa pemerintahan Sultan Nuku, menurut berbagai sumber pernah mengangkat bala tentara laut asal Biak yang dipimpin oleh Gurabesi. Karena ketangguhan dan kecakapannya dalam memimpin perang laut, akhirnya Gurabesi dan pengikutnya diberikan tempat di daerah Raja Ampat.
Ia pun diangkat menjadi raja di wilayah itu dan memiliki 4 orang anak yang masing-masing memimpin 4 pulau besar di gugusan kepulauan itu. Perlu diketahui, istilah Maluku berasal dari Bahasa Arab, Al Mulk, yang berarti negeri para raja. Hingga saat ini kepala suku atau kepala adat yang mendiami kepulauan Maluku disebut sebagai raja.
Menurut cerita Sultan Tidore, pendahulunya banyak mengangkat orang menjadi raja di pulau-pulau hingga ke arah Maluku bagian tenggara bahkan Papua. Sehingga tidak heran jika Tidore disebut sebagai induk tanah adat Maluku.
Kembali ke persoalan Papua, yang kini setiap tanggal 1 Desember bagi orang-orang yang anti NKRI diperingati sebagai hari jadi Papua, karena di tanggal itu tahun 1961, Kerajaan Belanda telah memberikan kemerdekaan kepada Papua.
Pemberian kemerdekaan itu yang kemudian memancing kemarahan Bung Karno, yang selanjutnya mengeluarkan Tri Komndo Rakyat (Trikora) pada 19 Desember 1961. Bung Karno menganggap bahwa Belanda telah mengingkari isi Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, yang akan mengakui wilayah Indonesia seluruhnya dari Sabang hingga Merauke.
Sedangkan dalam isi konferensi itu, masalah Papua akan diselesaikan selambat-lambatnya 1 tahun kemudian. Namun dalam kurun waktu setahun itu tidak ada tindakan apa-apa dari Belanda.
Awalnya, Bung Karno mencoba secara diplomasi upaya pengembalian Irian Barat. Kemudian dilanjutkan dengan nasionalisasi asset Belanda hingga pemutusan hubungan diplomatik dengan Belanda pada tahun 1956. Bung Karno pun membentu Provinsi Irian Barat yang beribukota di Soasiu, Tidore, dengan Sultan Tidore saat itu, Zainal Abidin Syah, didaulat sebagai Gubernur pertama Irian Barat (Papua).
Hingga 1 Mei 1963 melalui prosesi perjuangan militer dan diplomasi di PBB, akhirnya Irian Barat resmi kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Berdasarkan kisah itu, sejak masa Sultan Nuku hingga Bung Karno, sejarah Papua begitu erat dengan Tidore. Maka dari itu, Sultan Tidore saat ini juga dianggap sebagai Bapak oleh orang-orang Papua.
Husain menceritakan pernah ada pemuda Papua yang ingin bertemu dengannya untuk menyerahkan sebilah pedang asal Papua. Permintaan pemuda itu hanya satu, yaitu pedang itu dipajang di kesultanan.
“Ya saya tepati janji kepada pemuda Papua itu, namanya David. Sehabis memberikan pedang ke saya lalu ia kembali ke Papua dan kemudian dikabarkan telah meninggal dunia,” kenangnya.
Husain pun atas nama Kesultanan Tidore menyampaikan duka yang mendalam atas meninggalnya David. Hingga kini pedang pemberian pemuda itu, terpajang di kedaton bersama pusaka-pusaka lainnya.
Di akhir penjelasannya, Husain berharap agar persatuan NKRI tetap terus terwujud bahkan hingga kiamat nanti. Ikrar itu pernah ia sampaikan juga di Parlemen Afrika Selatan.
“Tidore tetap bagian integral dari NKRI begitu juga Papua,” pungkasnya.
*Ingatlah Kristen Tersebar di Papua Seizin Sultan Tidore dan melalui 2 Penunjuk Jalan yang beragama Muslim dengan Menggunakan Perahu Milik Sulta Tidore, Ottow dan Geissler Tiba di Mansiman (Manokwari) pada 5 Februari 1855 *
Hasan Samay adalah seorang warga Kaimana sekaligus wakil pimpinan wilayah Muhammadiyah Provinsi Papua. Menurut dia, persoalan toleransi di Papua sebenarnya dari dulu tak ada masalah. Di masyarakat, perbedaan agama tak pernah memantik kerusuhan. Kalaupun ada, ribut-ribut itu lebih karena persoalan sosial, ekonomi, dan politik.
Kalau bicara sejarah masuknya Islam di Papua, hasil penulisan doktor Wanggai yang saya baca itu dan ditambahkan melalui cerita orang-orang tua secara turun temurun, maka datangnya Islam yang pertama di Papua itu melalu Kerajaan Tidore, kemudian melalui Kepulauan Raja Ampat. Setelah itu sampai ke Sorong, Salawati. Lalu, masuk sampai ke Fakfak, ke Kaimana, dan sampai ke perbatasan Timika. Jadi, Islam pertama di daerah selatan Papua.
Saya tidak tahu persis kapan tahunnya. Tapi, itu terjadi jauh sebelum misi agama lain, yakni misalnya Kristen datang atau sampai ke Papua. Nah, misi Kristen itu masuk setelah minta izin kepada raja di Kesultanan Tidore karena Papua waktu itu berada di bawah atau menjadi wilayah Kerajaan Tidore. Jadi, memang akhirnya pemimpin misi Kristen minta izin ke Sultan Tidore itu.
Setelah mendapat izin, Sultan memerintahkan dua orang anggota kerajaannya (yakni pelaut sebagai penunjuk jalan) untuk mengawal rombongan misi Kristen itu yang dipimpin Ottow dan Gisler dengan menggunakan perahu Muslim pula. Mereka kemudian mendarat ke Mansiman, sebuah wilayah yang berada di dekat Manokwari.
Bayangkan kalau mereka tidak toleran, rombongan misi Kristen yang dipimpin Ottow dan Geissler pada 5 Februari 1855 itu pasti tidak akan sampai di Papua (Mansinam). Apa jadinya kalau mereka, misalnya, dibunuh atau ditenggelamkan ke laut? Nah, ini terbukti tidak dilakukan. Orang Muslim yang menjadi penunjuk jalan itu ternyata tak mempermasalahkan meski mengantar orang yang hendak menyebarkan agama lain. Sultan Tidore kalau tidak bijaksana, pasti tidak akan mengizinkan misi zending itu ke Papua karena wilayah ini memang menjadi kekuasaannya. Maka, ingatlah sejarah ini.
Makanya, sampai sekarang mungkin dari Fakfak sampai ke Kaimana kita para pemuka masyarakat di sana disebut raja. Ini beda dengan ketua adat di tempat lain di Papua, yang dikenal denga sebutan Ondoafi. Jadi, inilah salah satu peninggalan dari pengaruh dari Kesultanan Tidore yang masih ada sampai sekarang di Papua.
Bagi kami agama adalah keyakinan masing-masing orang. Masalah tempat, masalah wilayah itu bebas saja. Apalagi, sekarang ini Papua itu wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sumber, Republika.co.id