Suaranewspapua.com- Gelar pahlawan nasional menunjukkan seseorang pernah ikut memperjuangkan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seseorang yang telah memimpin serta melakukan perjuangan bersenjata ataupun perjuangan dalam bidang politik atau lainnya dengan mencapai, merebut atau mempertahankan serta mengisi kemerdekaan. Mampu melahirkan beberapa gagasan ataupun pemikiran yang besar dan dapat menunjang pembangunan bangsa serta menghasilkan karya besar yang mendatangkan manfaat untuk kesejahteraan masyarakat luas.
Perjuangan serta pengabdian untuk Indonesia berlangsung seluruh masa hidupnya serta melebihi tugas yang sedang diembannya serta perjuangan yang dilakukan tidak bersifat sementara dan sesaat saja.Perjuangan yang dilakukan individu tersebut memiliki jangkauan yang luas serta berdampak secara nasional. Itulah beberapa kriteria menurut Kementerian Sosial Indonesia yang perlu dimiliki oleh seseorang untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional.
Tidak hanya itu, dia harus mempunyai konsistensi jiwa serta semangat nasionalisme yang sangat tinggi, moral dan akhlak yang tinggi, tidak menyerah kepada lawan di dalam melakukan perjuangan serta selama hidupnya tidak punya riwayat melakukan perbuatan tercela. Jenderal Soedirman, Cut Nyak Dien, Pattimura, dan masih banyak lagi orang-orang yang berasal dari berbagai provinsi yang mendapat gelar pahlawan nasional karena usahanya dalam pergerakan nasional untuk merebut, mempertahankan atau mengisi kemerdekaan Indonesia.
Siapa bilang tidak ada pahlawan nasional dari Papua? Beberapa dari mereka juga ikut memperjuangkan NKRI ini. Mari simak daftar pahlawan nasional asal Papua berikut ini melansir dari Merdeka.com:
Frans Kaisiepo
Dikenang karena jasanya dalam Konferensi Malino tahun 1946 untuk membicarakan pembentukan Republik Indonesia Serikat sebagai wakil dari Papua. Frans Kaisiepo lahir di Wardo, Biak, Papua menjadi Pahlawan Nasional pertama asli dari Papua. Dalam Konferensi Malino, Frans. Jasa-jasanya untuk NKRI antara lain:
Mengusulkan nama Irian, kata dalam bahasa Biak yang berarti tempat yang panas.
Sejarah juga mencatat tiga hari menjelang Proklamasi, tepatnya 14 Agustus 1945, Kaisiepo dan beberapa rekan seperjuangannya memperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya di Kampung Harapan Jayapura.
Beberapa hari sesudah Proklamasi, atau pada 31 Agustus 1945, Kaisiepo dan rekan-rekannya melaksanakan upacara dengan pengibaran bendera Merah Putih dan nyanyian lagu kebangsaan.
Menjabat sebagai Gubernur Papua antara tahun 1964-1973. Pada 10 April 1979 Frans meninggal dunia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cendrawasih, Jayapura.
Berdasarkan Keputusan Presiden nomor 077/TK/1993, nama Frans Kaisiepo selanjutnya dikenang sebagai satu dari deretan Pahlawan Nasional Indonesia disertai penganugrahan Bintang Maha Putera Adi Pradana Kelas Dua. Untuk mengenang jasanya, namanya diabadikan sebagai nama Bandar Udara Frans Kaisiepo di Biak Selain itu namanya juga di abadikan di salah satu KRI yaitu KRI Frans Kaisiepo. Pada tanggal 19 Desember 2016, Frans Kaisiepo diabadikan dalam uang kertas Rupiah baru pada pecahan Rp. 10.000.
Johannes Abraham Dimara
Mayor TNI Johannes Abraham Dimara merupakan putra asli Papua yang lahir di Korem, Biak Utara, Papua pada tanggal 16 April 1916. Jasa-jasanya untuk NKRI antara lain:
Ikut serta dalam Pengibaran Bendera Merah Putih di Namlea, pulau Buru, Maluku pada tahun 1946.
Turut memperjuangkan pengembalian wilayah Irian Barat ke tangan Republik Indonesia. Pada tahun 1950, dia diangkat menjadi Ketua OPI (Organisasi Pembebasan Irian Barat).
Menjadi anggota TNI dan melakukan infiltrasi pada tahun 1954 yang menyebabkan dia ditangkap oleh tentara Kerajaan Belanda dan dibuang ke Digul, hingga akhirnya dibebaskan tahun 1960.
Menjadi contoh sosok orang muda Papua dan bersama Bung Karno ikut menyerukan Trikora di Yogyakarta. Dia juga turut menyerukan seluruh masyarakat di wilayah Irian Barat supaya mendukung penyatuan wilayah Irian Barat ke dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada tahun 1962, diadakanlah Perjanjian New York.
Menjadi salah satu delegasi bersama Menteri Luar Negeri Indonesia dalam Perjanjian New York. Isi dari perjanjian itu akhirnya mengharuskan pemerintah Kerajaan Belanda untuk bersedia menyerahkan wilayah Irian Barat ke tangan pemerintah Republik Indonesia. Maka mulai dari saat itu wilayah Irian Barat masuk menjadi salah satu bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Johanes Abraham Dimara meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 20 Oktober 2000. Dia mendapat tanda penghargaan dari pemerintah berupa Satyalancana Perang Kemerdekaan Kesatu dan Satyalancana Bhakti. Atas jasa-jasanya Pemerintah RI menganugerahi Gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keppres No. 113/TK/201
Silas Papare
Putra asli Papua lainnya yang ditetapkan sebagai pahlawan yakni Silas Papare. Silas lahir di Serui, Papua, 18 Desember 1918. Jasanya untuk NKRI antara lain:
Menjadi pejuang penyatuan Irian Jaya (Papua) ke dalam wilayah Indonesia. Dia sangat gigih dalam memperjuangkan kemerdekaan Papua sehingga, dia sering berurusan dengan aparat keamanan Belanda dalam memerangi kolonialisme Belanda dan pada akhirnya dia dipenjarakan di Jayapura karena memengaruhi Batalyon Papua untuk memberontak.
Mendirikan Badan Perjuangan Irian di Yogyakarta dalam rangka membantu pemerintah Republik Indonesia untuk memasukkan wilayah Irian Barat ke dalam wilayah RI pada bulan Oktober 1949 di Yogyakarta.
Aktif dalam Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB) juga diminta oleh Soekarno menjadi salah seorang delegasi Indonesia dalam New York Agreement yang ditandatangani pada 15 Agustus 1962, yang mengakhiri konfrontasi Indonesia dengan Belanda perihal Irian Barat.
Menjadi anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) setelah penyatuan Irian Barat dengan RI.
Untuk mengenang jasa-jasa Silam Papare, namanya diabadikan menjadi salah satu Kapal Perang Korvet kelas Parchim TNI AL KRI Silas Papare dengan nomor lambung 386. Selain itu, dididirkan Monumen Silas Papare di dekat pantai dan pelabuhan laut Serui. Sementara di Jayapura, namanya diabadikan sebagai nama Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Politik (STISIPOL) Silas Papare, yang berada di Jalan Diponegoro. Sedangkan di kota Nabire, nama Silas Papare dikenang dalam wujud nama jalan.
Marthen Indey
Marthen Indey lahir di Doromena, Papua pada 14 Maret 1912 merupakan putra Papua yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan Nasional Indonesia berdasar SK Presiden No.077 /TK/ 1993 tgl. 14 September 1993 bersama dengan dua putra Papua lainnya yaitu Frans Kaisiepo dan Silas Papare. Jasanya untuk NKRI antara lain:
Menjadi polisi Belanda yang kemudian berbalik mendukung Indonesia setelah bertemu dengan beberapa tahanan politik yang diasingkan di Digul, salah satunya adalah Sugoro Atmoprasojo. Saat itu, ia bertugas untuk menjaga para tahanan politik yang secara tidak langsung berhasil menumbuhkan jiwa nasionalismenya dalam pertempuran melawan penjajah.
Pada tahun 1946, Marthen bergabung dengan sebuah organisasi politik bernama Komite Indonesia Merdeka (KIM) yang kemudian dikenal dengan sebutan Partai Indonesia Merdeka (PIM). Saat menjabat sebagai ketua, Marthen dan beberapa kepala suku yang ada di Papua menyampaikan protesnya terhadap pemerintahan Belanda yang berencana memisahkan wilayah Irian Barat dari wilayah kesatuan Indonesia.
Mengetahui pihaknya membelot, Belanda menangkap Marthen dan membuinya selama tiga tahun di hulu Digul karena pasukan Belanda merasa dikhianati oleh aksinya tersebut.
Pada tahun 1962 Marthen bergerilya untuk menyelamatkan anggota RPKAD yang didaratkan di Papua selama masa Tri Komando Rakyat (Trikora).
Di tahun yang sama, Marthen menyampaikan Piagam Kota Baru yang berisi mengenai keinginan kuat penduduk Papua untuk tetap setia pada wilayah kesatuan Indonesia.
Berkat piagam tersebut, Marthen dikirim ke New York untuk melakukan perundingan dengan utusan Belanda tentang pengembalian Irian Barat yang selama ini berada di bawah pemerintahan sementara PBB ke dalam wilayah kesatuan Indonesia.
Marthen diangkat sebagai anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) sejak tahun 1963 hingga 1968.
Diangkat sebagai kontrolir diperbantukan pada Residen Jayapura dan berpangkat Mayor Tituler selama dua puluh tahun.