OpiniPolitik

Pendeta Socratez S. Yoman – Darah Tidak Sebanding dengan Ludah

Suaranewspapua.com- JAYAPURA- Pembangunan di Papua belum selesai dan masih banyak yang harus dikerjakan, bahwa salah satu faktor yang sangat penting adalah kita tidak boleh melupakan pembangunan manusia di Papua, bila kita tidak mau mereka hanya akan menjadi “penonton” bagi kemajuan di Papua. Namun di sisi lain, kendapti banyak pekerjaan rumah yang harus diselesai untuk persoalan Papua, nyatanya saat ini masih kental terasa tentang konflik saling sandung antar tokoh.

Keberadaan tokoh adalah sebagai penengah, pemimpin, dan pengambil keputusan yang bijak untuk kelompoknya. Bukan sekedar memanfaatkan pengikutnya untuk mendukung suara sumbangnya dengan tujuan menjatuhkan pihak lain.

Salah satu contohnya adalah Theys Eluai yang merupakan figur terpandang walaupun sempat didakwa sebagai otak gerakan separatisme, dimana suaranya mampu mempersatukan dan menggerakkan semua elemen perjuangan rakyat Papua dari pesisir hingga gunung untuk kesejahteraan rakyat tanpa kepentingan golongan. Belakangan berbagai aksi yang pernah dilakukan oleh Theys juga menjadi dobrakan atas kemunculan otonomi khusus yang memihak rakyat Papua.

Diluar dari itu bahkan apa yang digalakkan oleh They nampaknya mulai memperlihatkan situasi yang jauh lebih baik lewat adanya otonomi khusus. Atas kemajuan yang terjadi, saat ini semakin banyak rakyat Papua yang mulai membuka pikiran untuk melakukan usaha mandiri sehingga meningkatlah taraf hidupnya.

Namun kejanggalan juga tidak luput dari pandangan atas cara berprosesnya Papua menuju daerah yang maju. Mendaulat dirinya sebagai seorang gembala, Socratez S. Yoman terus mengangkat permasalahan lalu yang seolah akan terus menghambat proses kepada orang Papua yang sudah berpikir rasional. Lewat tulisan-tulisan provokasinya, Socratez selalu mengumbar keterbelakangan di Papua. Dia bersuara bahwa Papua masih tertindas, dan akan berkembang.

Bahkan sangat disesalkan dari pribadi yang juga merupakan seorang pendeta adalah ia tidak jarang melakukan politik adu domba. Dengan maksud untuk mengerahkan pengikutnya agar menentang setiap kelompok yang tidak sependapat dengan sudut pandang pikirannya. Mengatas namakan ULMWP sebagai tameng dengan beribu-ribu simpatisan juga memudahkan Socratez untuk membungkam suara fraksi lain yang sebenarnya juga memiliki andil penting dalam perjuangan Papua.

Jika Socratez telah berani merendahkan martabat rakyat Papua secara luas dengan anggapannya sendiri, maka jangan lagi salahkan kelompok lain yang juga terus menilai bahwa Socratez tidak lebih dari sekedar penghasut dan pembawa kabar bohong.

Pemimpin gereja harus bisa berbicara dengan adab seorang pemuka agama. Netralitas dan tidak memihak sebelah, apalagi setiap ujarannya berujung pada perpecahan. Pemimpin gereja juga seharusnya mempuyai beban moral untuk mempersatukan (bukan untuk memprovokasi).

Perjuangan Papua bersifat kompleks dan telah mengakar, tidak dibenarkan hanya terdapat satu elemen saja yang peling berhak mengklaim bahwa dirinya adalah seorang ‘Pejuang Papua’. Suatu bangsa yang ditindas berdiri atas sejarah, dan sejarah bukanlah sebuah KEPALSUAN.

Sebagai fraksi militer, keberadaan TPNPB/OPM pun memiliki peran yang vital. Berkacalah pada sebuah usaha. Kami menilai bahwa perjuanganmu-pun tidak jauh lebih berharga ketimbang darah dan keringat yang menetes kala punggung-punggung gunung terjal harus kami lewati. TPNPB/OPM bahkan tidak pernah membandingkan perjuangannya dengan kelompok ULMWP yang terus dielu-elukan oleh Socratez. Namun jika cara seorang Socratez dalam menyampaikan pendapatnya sudah cukup menyakiti bahkan menyingkirkan sejarah, ketahuilah  jika “DARAH TIDAK SEBANDING DENGAN LUDAH”.

Related Articles

Back to top button